tajam terpercaya

Kurikulum Merdeka Dinilai Fleksibel, Tapi Siswa Belum Bisa Membaca Naik Kelas

Liputanntb.com – Kurikulum Merdeka yang mulai diimplementasikan di berbagai sekolah Indonesia telah memicu beragam tanggapan dari pengamat pendidikan. Kurikulum ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan dengan memberikan fleksibilitas kepada siswa dan guru. Namun, para pengamat juga menyoroti sejumlah kelemahan, terutama terkait banyaknya siswa yang belum mampu membaca dengan baik namun tetap naik kelas.

Baca:Mengasah Keterampilan, Siswa SDN 34 Mataram Ubah Kertas Bekas Jadi Bunga

Kelebihan Kurikulum Merdeka Kandidat Doktor Hasbi, S.Pd.M.Or, seorang pengamat pendidikan, menilai bahwa Kurikulum Merdeka memiliki kelebihan utama dalam hal fleksibilitas dan personalisasi pembelajaran. “Kurikulum ini memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar sesuai dengan kecepatan mereka sendiri dan fokus pada minat serta bakat masing-masing. Ini tentu sangat bermanfaat untuk meningkatkan motivasi belajar siswa,” kata Hasbi.

Ia juga memuji pendekatan pembelajaran berbasis proyek yang diusung Kurikulum Merdeka. Menurutnya, hal ini dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan kolaborasi siswa. “Belajar tidak hanya diukur dari nilai akademis, tetapi juga dari penguasaan keterampilan nyata yang relevan dengan kehidupan sehari-hari,” tambahnya.

Baca:Nama dan Wacana Kabinet Prabowo-Gibran Akan di Isi 44 Menteri

Kelemahan Kurikulum Merdeka Namun, di balik kelebihannya, Hasbi juga menyoroti kelemahan signifikan dalam penerapan Kurikulum Merdeka, salah satunya adalah fenomena siswa yang belum bisa membaca dengan baik tetapi tetap naik kelas. “Kebebasan dan fleksibilitas yang diberikan Kurikulum Merdeka kadang membuat sistem evaluasi siswa menjadi longgar. Akibatnya, ada kasus di mana siswa naik kelas meskipun belum mencapai kemampuan dasar seperti membaca atau berhitung,” jelasnya.

Hal ini menurut Hasbi bisa menjadi masalah serius jika tidak ditangani dengan baik. Kelemahan dalam sistem evaluasi atau penilaian berpotensi menciptakan kesenjangan besar dalam kemampuan siswa di setiap tingkatan kelas. “Tanpa intervensi yang tepat, siswa yang mengalami kesulitan dasar seperti membaca akan tertinggal dan kesulitan mengikuti pelajaran di kelas yang lebih tinggi,” tambahnya.

Salah satu penyebab masalah ini adalah kurangnya pendampingan intensif bagi siswa dengan keterbatasan kemampuan dasar. “Dalam Kurikulum Merdeka, siswa diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi minat mereka, tetapi siswa dengan kebutuhan khusus atau kesulitan belajar membutuhkan lebih banyak perhatian dan dukungan dari guru,” katanya.

Ia juga menambahkan bahwa peran guru sangat krusial dalam memastikan siswa tidak hanya naik kelas, tetapi juga menguasai kompetensi dasar yang diperlukan. Namun, tidak semua guru merasa siap dengan metode baru ini, terutama di sekolah-sekolah dengan sumber daya terbatas. “Guru harus mendapatkan pelatihan yang cukup agar bisa mengidentifikasi siswa yang tertinggal dan memberikan dukungan tambahan yang sesuai.”

Tantangan dalam Implementasi Meskipun tujuan dari Kurikulum Merdeka adalah baik, pengamat menilai bahwa masih ada tantangan besar dalam implementasinya di lapangan. Salah satu tantangan terbesar adalah ketersediaan infrastruktur pendidikan yang memadai serta pelatihan guru untuk menerapkan metode pembelajaran yang lebih fleksibel dan personal.

Pemerintah, menurut Hasbi, perlu segera melakukan evaluasi dan penguatan dalam penerapan kurikulum ini. “Perlu ada upaya lebih untuk memastikan bahwa semua siswa mendapatkan perhatian yang layak, terutama dalam penguasaan keterampilan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung, sebelum mereka bisa naik ke kelas berikutnya.”

Ia juga menyarankan agar pemerintah membuat kebijakan yang lebih tegas terkait evaluasi siswa, agar kenaikan kelas tidak hanya didasarkan pada usia atau kehadiran, tetapi juga berdasarkan kompetensi yang benar-benar dikuasai siswa.

Renungan Kurikulum Merdeka membawa banyak potensi positif, seperti fleksibilitas dan fokus pada pengembangan bakat siswa. Namun, kelemahan dalam sistem evaluasi dan kurangnya perhatian terhadap siswa yang belum menguasai kemampuan dasar, seperti membaca, menjadi masalah yang harus segera diatasi. Para pengamat pendidikan menekankan pentingnya perbaikan dan dukungan yang lebih besar, baik dari pemerintah maupun sekolah, agar tujuan utama kurikulum ini menciptakan siswa yang kompeten dan mandiri dapat tercapai.